Laman

Senin, 03 Januari 2011

Transformasi Struktural Ekonomi Indonesia

 oleh Bustanul Arifin
(dari  Metrotvnews, 3 Januari 2010)

Pada 29 Desember 2010, Kementerian Pertanian menyampaikan ”Refleksi Tahun 2010 dan Prospek Pembangunan Pertanian Tahun 2011”. Sebagaimana dapat diduga, perubahan iklim ekstrem masih menjadi tantangan pertanian pada tahun 2011 karena sekian macam dampak buruk yang akan ditimbulkannya. Pemerintah secara gentle mengakui keterlambatannya untuk mengantisipasi perubahan iklim tersebut, walaupun kini telah mulai dikembangkan varietas tanaman pangan (terutama padi, jagung dan kedelai) yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. 

Upaya tersebut memang memakan waktu karena memerlukan proses penelitian dan analisis yang mendalam, sehingga belum akan dapat diaplikasikan pada tahun 2011. Sementara itu, beberapa lembaga nasional dan internasional sebenarnya telah menyampaikan prakiraan iklim, yang intinya meramalkan bahwa bulan basah masih akan berlanjut sampai Mei 2011. Di sinilah diperlukan langkah kebijakan yang lebih efektif meminimalkan dampak perubahan iklim di tingkat usahatani agar dampak yang ditanggung petani dan ekonomi secara keseluruhan tidak terlalu masif.

Di luar tentang fenomena perubahan iklim yang telah menjadi agenda nasional, pada kesempatan tersebut, Pemerintah juga menargetkan perbaikan kinerja sektor pertanian pada tahun 2011 sebesar 3,61 persen per tahun serta hal-hal lain yang umumnya dikenal dengan istilah transformasi struktural perekonomian Indonesia. Target tersebut memang sangat tinggi mengingat kinerja pertumbuhan sektor pertanian sampai triwulan tiga tahun 2010 hanya mencapai 2,6 persen. Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian sekarang ini juga sangat berhubungan dengan rendahnya nilai tambah yang dihasilkan sektor ini, terutama pada pertengahan tahun. 

Kinerja pertumbuhan triwulan dua ke triwulan tiga yang mencapai 6 persen belum cukup untuk menggapai kinerja sektoral yang memuaskan bagi sektor yang sebenarnya mampu menyerap tenaga kerja, menciptakan lapangan kerja baru, dan menggandakannya ke sektor-sektor lain yang lebih produktif. Target pertumbuhan 3,61 persen per tahun sebenarnya bukan seuatu yang mustahil untuk dicapai, jika pemeritah mampu mengambil langkah-langkah kebijakan yang memberikan insentif bagi pelaku usaha di sektor pertanian dan sektor lainnya untuk meningkatkan produktivitas dan kinerjanya.

Target lain yang dicanangkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, adalah peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dari 41,4 persen pada tahun 2010 menjadi 44,1 persen pada tahun 2011. Target peningkatan penyerapan tenaga sektor pertanian itu tampak anomali dengan prinsip-prinsip dasar transformasi struktural dari pembangunan ekonomi suatu bangsa. Teori ekonomi pembangunan percaya bahwa pangsa sektor pertanian dalam perekonomian atau pendapatan nasional (produk domestik bruto=PDB) semakin lama semakin menurun. Pangsa PDB sektor pertanian telah menurun dari 30 persen pada dekade 1970-an, menjadi 23 persen pada 1980-an, dan hanya 15-16 persen saat ini. Demikian pula, pangsa atau persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian juga semakin menurun, seiring dengan berkembangnya sektor industri dan jasa. Pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian juga telah menurun dari 62 perse pada 1970-an, menjadi 56 persen pada 1980-an dan 41 persen saat ini.
                                                                       ****
Landasan teori tentang fenomena transformasi struktural itu sudah sangat solid, sehingga terkesan “aneh dan melawan arus” jika pemerintah justru menetapkan target peningkatan tambahan tenaga kerja di sektor pertanian. Di antaranya adalah logika teori konsumsi oleh Ernst Engle bahwa pangsa konsumsi pangan semakin menurun dengan semakin besarnya tingkat pendapatan. Dalam hal ini pertanian adalah sektor utama penghasil bahan pangan pertambahan, sehingga pangsa pertanian dalam PDB pasti semakin menurun seiring terjadinya transformasi struktural pembangunan ekonomi suatu bangsa dari sektor pertanian menuju sektor industri manufaktur dan jasa.

Demikian pula, landasan teori tentang peningkatan produktivitas dalam sektor pertanian seiring semakin majunya suatu bangsa juga berlaku universal, sehingga negara yang tidak mampu melakukan strategi peningkatan produktivitas pasti akan ketinggalan zaman. Landasan teori lain yang sering digunakan untuk menjelaskan fenomena transformasi struktural ini adalah semakin meningkatnya keunggulan komparatif dan kompetitif suatu bangsa, terutama setelah berkiprah dalam perdagangan internasional.

Landasan teori tentang penurunan pangsa penyerapan tenaga kerja seiring dengan pembangunan ekonomi juga sangat solid, karena perekonomian bergerak menuju suatu tingkat produktivtias dan efisiensi yang lebih tinggi. Penurunan pangsa tenaga kerja di sektor pertanian ini dapat dilihat sebagai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull-factor). Faktor pendrong umumnya berkonotasi negatif, karena menunjukkan adanya kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan, sehingga tenaga kerja yang semula bekerja di sektor pertanian akhirnya terpaksa bekerja di sektor industri dan jasa karena di perdesaan tidak mampu memberikan penghidupan yang lebih baik.

Secara tidak langsung, push factor ini juga mencirikan keterbuangan tenaga kerja sektor pertanian dari lingkungannya sendiri, sekaligus menjadi penanda gagalnya transformasi struktural pembangunan ekonomi. Sedangkan faktor penarik (pull-factor) umumnya berkonotasi positif karena sektor non-pertanian lebih atraktif bagi tenaga kerja perdesaan (pertanian) yang memiliki keterampilan tertentu. Mereka yang memiliki tambahan ketrampilan juga menjadi salah satu cermin dari perbaikan pendidikan di pertanian atau bahkan taraf hidup di daerah perdesaan. Di sini terdapat dimensi peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah dalam sektor-sektor perekonomian, sehingga pembangunan ekonomi akan membawa tambahan kesejahteraan baik bagi tenaga kerja sektor pertanian maupun bagi sektor industri dan jasa.
                                                ****
Walau pun pemerintah mencoba membuat klarifikasi bahwa target peningkatan penyerapan tenaga kerja 44,1 persen di sektor pertanian tidak hanya dari sisi budidaya, tetapi juga meliputi sektor hilir dan industri pertanian, agak sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah telah memiliki rencana pembangunan ekonomi yang solid. Dalam kosa kata ekonomi pembangunan, rencana besar dan strategi implementasi proses transformasi struktural ekonomi Indonesia tampak tidak terintegrasi (sekadar tidak menyebut “berantakan”) karena kecenderungan masing-masing sektor menjalankan visi dan misi administrasinya sendiri, tanpa suatu kesatuan yang utuh.

Rapat koordinasi bidang perekonomian yang melibatkan menteri-menteri atau anggota Kabinet Indonesia Bersatu Kedua yang memilliki portofolio pembangunan ekonomi mungkin saja rutin dilaksanakan. Contoh kecil tentang pengembangan industri hilir pertanian dengan cara bereksperimen melalui penetapan pungutan ekspor atau bea keluar ternyata belum mampu meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Kebijakan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO), kakao, dan lain-lain masih belum mampu mendorong investasi di hilir atau pendalaman industri (industrial deepening) berdaya saing dan bernilai tambah tinggi ini. Persoalan klasik yang berpangkal pada kondusivitas iklim usaha dan investasi baru kini semakin terlihat nyata di lapangan, yang tentu saja tidak akan mampu dipecahkan sendiri oleh Kementerian Pertanian atau Kementerian Perindustrian saja. Apalagi, jika sinyalemen tentang beberapa pelaku ekonomi domestik justru telah melakukan investasi pengembangan industri hilir pertanian di luar negeri benar adanya, maka proses transformasi struktural ekonomi Indonesia pasti semakin sulit.

Beberapa langkah berikut mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk kembali meluruskan proses transformasi struktural agar sesuai dengan amanat konstitusi  “memajukan kesejahteraan umum” yang dapat juga dimulai dari peningkatan kesejahteraan petani. Pertama, fokus pada peningkatan produktivitas dan efisiensi di pertanian, dengan misi besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Misalnya, pada produksi pangan beras, langkah ini dapat dimulai dengan upaya besar pengurangan kehilangan pascapanen, yang kini telah mencapai 22 persen lebih. Seandainya tingkat kehilangan tersebut dapat ditekan sampai 15 persen saja, maka produksi beras di dalam negeri akan bertambah 3,5 juta ton, sehingga Indonesia tidak harus mengalami kontroversi ekonomi-politik impor beras seperti saat ini.

Kedua, masih pada komoditas padi atau beras, pemerintah dapat fokus pada penyediaan sarana pengeringan (dryer) padi, sekaligus untuk antisipasi musim basah yang masih akan berlangsung sampai Mei 2011. Akses terhadap sarana pasca-panen seperti ini juga untuk menjaga agar harga jual gabah petani tidak anjlok pada musim panen raya. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian dapat bekerjasama untuk, misalnya memobilisasi dana perbankan agar dapat diakses oleh petani dan pelaku usaha penggilingan padi, untuk meningkatkan efisinensi penggilingan dan kapasitas pengloahan agar nilai tambah dapat dinikmati petani dan sektor perdesaan pada umumnya.

Ketiga, penyempurnaan landasan kebijakan penanganan pasca-panen yang mengarah pada peningkatan efisiensi. Agak mengejutkan juga jika sampai saat ini Indonesia hanya memiliki aturan perundang-undangan berupa Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1986 tentang Peningkatan Penanganan Pascapanen dan Hasil Pertanian. Apabila landasan kebijakan itu dibuat lebih mengikat para perumus dan pelaksana kebijakan di Iingkat pusat dan tingkat daerah, maka penanganan pascapanen akan lebih efektif, dengan kriteria yang jelas dan terukur. 

Keempat, pembangunan pertanian bukan pekerjaan sambilan yang dapat dilakukan oleh satu-dua sektor sambil santai, tetapi merupakan agenda besar negara yang akan dapat menentukan wujud perekonomian Indonesia ke depan. Di sinilah pentingnya komitmen penelitian dan pengembangan (R&D) untuk memajukannya, dari berbagai dimensi dan kepentingan, dengan tujuan besar untuk meningatkan kesejahteraan rakyat.

Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA, Ekonom Senior INDEF
Bookmark and Share

Rabu, 29 Desember 2010

Iklim Masih Jadi Ancaman

Perubahan iklim yang ekstrem masih menjadi tantangan pertanian pada tahun 2011. Diperlukan antisipasi yang tepat agar produksi pangan tidak terganggu oleh faktor iklim. Menteri Pertanian Suswono mengakui pada tahun 2010 terlambat mengantisipasi faktor iklim.
”Tahun 2010 harus diakui kami terlambat mengantisipasi karena perubahan iklim ini tidak terduga,” ujar Menteri Pertanian saat menyampaikan ”Refleksi Tahun 2010 dan Prospek Pembangunan Pertanian Tahun 2011” di Jakarta, Rabu (29/12).
Ia menjelaskan, prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, April 2010 sudah masuk kemarau. ”Sehingga petani menanam hortikultura. Ternyata sampai Juli masih hujan, sekarang pun masih hujan. Ini membuat produksi hortikultura turun,” kata Suswono.
Oleh karena itu, kini sedari dini faktor iklim sudah diantisipasi. ”Ini kita lakukan antara lain dengan menyiapkan varietas yang cocok untuk setiap kondisi. Kita coba meminimalisasi kerugian di tingkat on farm,” ujar Mentan.
Selain itu, lanjut Mentan, riset diperkuat, begitu pula penyuluhan. Perluasan lahan, perbaikan infrastruktur, penyediaan pupuk, efisiensi tata niaga, dan lainnya.
”Bahkan, Panglima TNI sudah menyatakan, sewaktu-waktu TNI siap digerakkan membantu membasmi hama dan penyakit tanaman,” tutur Suswono.
Untuk mengantisipasi dampak iklim terhadap ketersediaan pangan nasional, menurut Suswono, tahun 2011 akan diterbitkan instruksi presiden (inpres) tentang pengamanan produksi beras dari dampak iklim. Inpres tentang pengadaan dan penyaluran gabah/beras oleh pemerintah dan inpres tentang kebijakan perberasan nonharga pembelian pemerintah.
Efisiensi
Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menyarankan agar fokus pada peningkatan produktivitas dan efisiensi di pertanian. ”Dan tentu saja tujuan akhir dari semua itu adalah peningkatan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Menurut Bustanul, peningkatan produktivitas bersifat landai, dan pada titik tertentu tidak dapat digenjot lagi. Oleh karena itu, untuk mencapai target produksi, khususnya padi, yang harus didorong adalah efisiensi, terutama mengurangi kehilangan pascapanen. ”Kehilangan pascapanen saat ini relatif besar,” ujarnya.
Namun, hingga kini, lanjut Bustanul, belum ada terobosan baru untuk efisiensi, mengurangi kehilangan pascapanen padi. ”Yang ada hanya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1986, itu sudah harus diperbarui. Menteri Pertanian bisa ambil peran dalam pengurangan kehilangan pascapanen ini,” tuturnya.
Bustanul mengingatkan, tahun 2011 sampai dengan Mei, hujan diperkirakan masih akan turun. ”Kalau panen basah, harga jual gabah petani akan turun. Sepanjang tidak ada terobosan untuk membantu petani mengatasinya, akan sulit bagi petani,” kata Bustanul Arifin.
Ia mengingatkan, pada tahun 2011 diprediksi harga komoditas akan melonjak. Selain waspada menjaga terpenuhinya kebutuhan pangan di dalam negeri, kenaikan harga komoditas juga bisa memberi keuntungan yang besar pada pertanian Indonesia.
”Subsektor pertanian bisa ambil windfall profit untuk meningkatkan kesejahteraan petani dari naiknya harga komoditas di dunia,” katanya.
Hal itu, lanjut Bustanul, dapat dilakukan dengan menggenjot produksi hortikultura dan komoditas perkebunan. Komoditas perkebunan yang punya peluang besar antara lain cokelat, kopi, dan teh.
”Cokelat kita bisa ambil peluang dari kondisi politik Pantai Gading, penghasil utama cokelat dunia, yang kini tidak kondusif, yang berpengaruh pada produksi cokelat mereka. Kita genjot produksi kita,” ujar Bustanul.
Terkait target Kementerian Pertanian meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, dari 41,4 juta pada 2010 menjadi 44,1 juta pada 2011, Bustanul menyatakan bahwa semakin maju negara tersebut, tenaga kerja di sektor pertanian semakin berkurang. ”Makin banyak yang terserap di industri,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Kemtan Hari Priyono menegaskan, target penyerapan tenaga kerja itu bukan hanya dari sisi budidaya, tetapi juga dari industri hilir pertanian. ”Kebijakannya 2011 pembangunan industri hilir pertanian,” katanya.
Menurut Bustanul, hal itu menegaskan, Kemtan bekerja sendiri. ”Padahal, seharusnya bagaimana tenaga kerja semakin banyak diserap sektor lain agar beban di pertanian tak terlalu berat. Kemtan fokus di produksi dan efisiensi,” katanya. (ely)

Dikutip dari Kompas.com

Minggu, 26 Desember 2010

Rasa Bangga Di Dadaku

 oleh : Andoko Darta

Kapan terakhir kita merasa bangga jadi orang Indonesia?
 
Tim sepak bola Merah Putih melawan Malaysia tanggal 26 dan 29 Desember ini adalah lebih dari sekedar pertandingan sepak bola.
Ini adalah salah satu momen langka lahirnya sebuah gerakan nasional tanpa iklan atau komando pemerintah. Sebuah gerakan nasional dari dan untuk semua kalangan mulai dari warung kopi di pedesaan sampai Setarbak di perkotaan.

Gerakan nasional tanpa komando ini mampu memompa kembali kebanggaan kita menjadi orang Indonesia yang telah meluntur menurut banyak pakar di media masa.

Untuk tes pendapat para pakar tersebut, silakan tanya diri sendiri pertanyaan di awal tulisan ini : Kapan terakhir kita merasa bangga jadi orang Indonesia?

Kebanggaan jadi orang Indonesia yang meluntur tersebut semoga telah mencapai titik nadir dan berbalik arah. Apakah tim Merah Putih akhirnya menang ataupun kalah, sejumput rasa bangga sudah mulai merekah di dada.

Di tambah lagi dengan bantuan Mr Obama beberapa waktu lalu, dimana dengan pidatonya yang memukau dan sangat menghormati Indonesia, di luar perkiraan rasa bangga menjadi orang Indonesia timbul di dada banyak anak muda.
Terlebih setelah anak2 muda tersebut (termasuk yang sudah berumur) baru mengetahui bahwa semboyan negara Amerika "E Pluribus Unum" (Out Of Many, One) artinya persis sama dengan "Bhinneka Tunggal Ika".

Semoga sejumput rasa bangga tersebut terus menyebar seperti virus ke seluruh bidang, termasuk bidang pertanian Indonesia, tempat dimana Sosek Inc berkiprah.

Sabtu, 18 Desember 2010

MODEL INKUBATOR AGRIBISNIS SEBAGAI LOKOMOTIF PENGEMBANGAN DESA

oleh I Made Donny Waspada

Dengan diberlakukannya otonomi daerah dimana setiap daerah mempunyai kewenangan untuk mengembangkan potensi daerah masing-masing sangat mendukung terciptanya ekonomi pedesaan yang berbasis agribisnis. Pengembangan usaha di sektor agribisnis memiliki basis yang kuat dalam menciptakan ketahanan ekonomi masyarakat. Hal ini didasari oleh beberapa alasan, diantaranya adalah :
  1. Sektor pertanian masih menampung sebagian besar tenaga kerja (75%) dan mempunyai basis yang kuat di tingkat masyarakat bawah. Sektor ini terbukti cukup bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi yang sangat berbengaruh terhadap sektor sekunder (industri) dan juga sektor tersier (jasa), yang membuat banyak dua sektor terakhir mengalami kebangkrutan dalam menghadapi krisis tersebut.
  2. Sektor agroindustri yang berkembang di daerah perkotaan adalah industri yang mendapat bahan baku utama dari sektor pertanian. Sehingga apabila sektor agroindustri tersebut diharapkan tetap terjaga kelangsungannya, maka sektor pertanianlah yang harus tetap mendapat perhatian dari pihak-pihak yang berkepentingan.
  3. Sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan dan mereka belum menikmati imbas dari kemajuam pembangunan yang sebagian besar terjadi di wilayah perkotaan. Padahal banyak industri kecil menengah berada di daerah pedesaan yang banyak belum mendapat perhatian cukup dari pemerintah.


Berbagai Keterbatasan Desa Dalam Mengembangkan Agribisnis
Usahatani pedesaan terpencil yang masih bersifat subsisten, skala kecil dan terpencar-pencar (tidak terintegrasi) sering menjadi permasalahan dalam pengembangan agribisnis di pedesaan. Hal ini menyebabkan tidak efisiennya transportasi dan pemasaran, serta sulit untuk mengakses teknologi, lembaga permodalan dan informasi pasar (lack of technology, capital, and market  information), yang pada akhirnya menyebabkan agribisnis di desa tersebut tidak berkembang.
Di beberapa desa dengan potensi produksi komoditasnya yang sudah lebih berkembang (padi, kopi, coklat dsb), umumnya rantai pemasarannya dikuasai oleh tengkulak/pengumpul kecil yang tidak berpihak kepada petani, karena para tengkulak ini juga dikendalikan oleh pengumpul besar. Para trader ini juga tidak mau bertindak sebagai agen informasi pasar (bahkan pada beberapa kasus informasi pasar ditutup/dibiaskan), dan juga bukan sebagai agen transfer teknologi. Hal ini yang menyebabkan agribisnis di desa-desa yang walaupun tampaknya sudah lebih sejahtera tetapi tidak berkembang.



Model Inkubator Agribisnis

Model inkubator bisnis pernah diperkenalkan oleh Bpk I Nyoman Moena dkk, melalui ”Wadah Inkubator Muamalat” sebagai lembaga yang membantu UKM nasabah Bank Muamalat di awal berdirinya bank ini. Inkubator Agribisnis dapat dikembangkan dari pengalaman tersebut di atas, khususnya untuk sektor agribisnis sebagai lokomotif penghela ekonomi pedesaan.

Secara prinsip inkubator agribisnis adalah upaya inisiasi cikal bakal kegiatan agribisnis dan pendampingannya agar usaha yang masih belum bisa mandiri tersebut bisa survive dan berkembang. Cikal bakal agribisnis ini (sebut saja UD Pemasaran Mandiri/UD PM) harus mampu memasarkan semua jenis produk yang ada di desa tersebut, tanpa persyaratan mutu, kuantiti minimum atau persyaratan-persyaratan lain yang belum dipahami dan belum mampu dipenuhi oleh petani desa tersebut. Jika ada sekarung biji kopi basah kelas asalan, 5 ekor ayam kampung, 20 butir telur bebek, 3 ikat pete, 10 tandan berbagai jenis pisang, sekeranjang cabe merah dan sayur terong, semuanya harus dapat diangkut dan dipasarkan ke pasar terdekat. Petani mendapatkan penghasilan, pelaku usaha ini dapat menutup ongkos dan mendapatkan penghasilan, walaupun masih sedikit. Di hari yang lain mungkin ada hasil kerajinan bambu yang dibuat oleh keluarga tani berupa peralatan dapur, beberapa jenis kerupuk mentah berbahan dasar singkong atau rengginang, 2 ekor kambing, beberapa karung arang batok kelapa dsb, dsb.

Diharapkan jika ada pemasaran yang pasti atas hasil usahatani dan industri rumah tangga keluarga tani, maka para petani produsen dan keluarganya akan meningkatkan kapasitas dan mutu hasil usahataninya, sehingga skala usaha UD PM juga akan meningkat, demikian juga jaringan pemasarannya. UD PM juga dapat berfungsi sebagai agen informasi pasar dan transfer teknologi. Berbagai spesifikasi mutu dan jenis barang yang diinginkan pasar/konsumen dapat disampaikan kepada petani. Kontrak suplai dengan lembaga pemasaran/pembeli tertentu dapat diteruskan sebagai kontrak kemitraan dengan petani produsen. Berbagai teknologi seperti peralatan pertanian, berbagai benih/bibit unggul, pupuk, pestisida dan berbagai kebutuhan keluarga tani dapat disediakan oleh UD PM.

Untuk menginisiasi UD PM melalui model inkubator agribisnis diperlukan hal-hal sbb:
  1. Calon wirausaha agribisnis yang handal
  2. Sarana angkutan hasil bumi (kendaraan pick up)
  3. Modal usaha dan operasional
  4. Pelatihan dan pendampingan entrepreneurship.

Proyek percontohan inkubator agribisnis desa dapat dikelola pada tingkat kabupaten. Dipilih 5-6 desa sebagai percontohan, dengan karakteristik desa yang perekonomiannya masih belum berkembang. Dari setiap desa dipilih 2-3 orang yang masih enerjik, mau bekerja keras, bermoral dan mau mengembangkan desanya.  Para calon entrepreneur ini dibekali dengan berbagai keterampilan seperti mengendarai kendaraan, pembukuan sederhana, etika perdagangan setempat dan pengenalan beberapa pasar lokal yang dapat dijangkau. Jika diperlukan dan memungkinkan para trainee dimagangkan di usaha-usaha sejenis yang ada di kabupaten tersebut. Seleksi dilakukan pada para calon entrepreneur, terutama atas dasar keyakinannya terhadap usaha agribisnis ini yang akan memberikan peluang usaha bagi dirinya dan mampu mengembangkan perekonomian desanya.
Dua-tiga entrepreneur dari tiap-tiap desa yang lolos seleksi membentuk ”UD PM”. Dan untuk masing-masing ”UD PM” diberi bantuan kredit mobil pick up bekas seharga +/- 50 jt, pinjaman tanpa bunga  untuk modal kerja dan operasional sebesar +/- 20 jt, serta bimbingan dan pendampingan selama 6 bulan Diharapkan akan terbentuk usaha agribisnis yang akan menjadi lokomotif pengelola perkonomian desa.

Ilustrasi inkubator agribinis ini dapat dilihat pada beberapa mitra Moena Fresh Bali, seperti Bapak Sunarwadi atau lebih dikenal dengan Bapak Ajis. Beliau berasal dari Situbondo, Jawa Timur dan setiap tiga hari sekali datang membawa berbagai macam buah ke gudang distribusi Moena Fresh di Bali. Bapak Ajis tidak memiliki kebun sendiri, buah yang dibawanya adalah hasil dari petani-petani di daerahnya yang dikumpulkan sehingga dari perhitungan biaya memungkinkan untuk menutupi biaya transportasi dari Situbondo ke Bali serta keuntungan yang memadai. Berbagai jenis mangga, pisang dan srikaya dengan beragam mutu diangkut dalam mobil pick up sewaannya. Buah mutu prima di terima oleh pihak Moena Fresh, sementara buah mutu kedua dijual ke pedagang pasar di bali. Bahkan sebagian ditampung oleh suplier Moena Fresh lain yang memiliki kios di pasar-pasar lokal Denpasar.

Jumat, 10 Desember 2010

PENGALAMAN BERWIRAUSAHA BUAH-BUAHAN “ DARI BALI MENUJU DUNIA “


oleh : I Made Donny Waspada

Buah-buahan di Bali , selain untuk dikonsumsi juga merupakan kelengkapan dalam tradisi upacara, sehingga kebutuhannya terus meningkat.

TERBIASA MENGHADAPI TANTANGAN
“ Kerja keras, tekun, fokus dan semangat untuk berubah ” merupakan senjata ampuh dalam meraih sebuah impian menjadi kenyataan. 
Pada saat kuliah dahulu, teman-teman sekelas meramalkan bahwa saya tidak akan dapat menyelesaikan studi saya di IPB ( dikarenakan nilai ujian saya 'jelek semua' ).  Tapi karena ada pepatah mengatakan “ Banyak jalan menuju Roma ”, maka dengan kegigihan dan ketabahan hati, serta sikap fighting spirit yang tinggi, mampu meluluhkan hati para dosen dengan cara mengajak kunjungan ke kebun melon saya, disamping kampus IPB, yang akhirnya meloloskan saya menjadi seorang Sarjana S-1 IPB.  Allhamdullillah!

NET WORKING SALAH SATU KUNCI SUKSES MEMBANGUN USAHA
Pertemanan saya semasa SD, SMP, SMA dan juga semasa kuliah di IPB, yang terus menerus saya bina ‘rasa persaudaraannya’ dengan terus menerus menjaga tali silahturahmi, banyak sekali membantu saya didalam mengembangkan usaha yang saya geluti ini. 
Teman itu ‘segalanya’ bagi saya.  Mereka semua memberi semangat yang luar biasa untuk seorang teman yang merintis semuanya dari kebun , kemudian beralih ke  pasar , dan terakhir membuka toko buah sendiri.
Sungguh suatu perjalanan yang amat panjang dan melelahkan.  Kesabaran istri dan anak saya semata wayangpun benar-benar membuat saya memiliki mimpi, mimpi 'harus mencapai sesuatu'.
Bisa dibayangkan.  Belajar Usaha ( menanam Melon ) tahun 1983.  Menikah tahun 1990.  Punya anak semata wayang tahun 1991.  Dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2000 usaha ’masih gojang ganjing’  Baru setelah tahun 2000, barulah 'terlihat hasilnya'.
Untung semuanya sabar dan tawakal, bahwa ‘membuat suatu usaha’, khususnya usaha buah-buahan’, tidaklah segampang yang orang bayangkan.

 LAHIRNYA KEBUN MELON DAN SEMANGKA
Kebun Melon mulai dirintis sejak tahun 1983, dengan modal 4 juta rupiah.  Sukses, menghasilkan 8 juta rupiah.  Terus menerus mengembangkan kebun melon di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan terakhir di Lampung. 
Dalam perjalanan waktu 10 tahun  ( 1983 sampai dengan 1993 ) , saya telah memiliki lebih dari 20 lokasi , dengan luasan seluruhnya mencapai 200 Hektaran.  Pada dasarnya , perluasan kebun tersebut ‘mengikuti’ kebutuhan buah Melon saat itu di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali, yang setiap harinya memerlukan buah Melon sekitar 40 ton an , dan setiap  tahunnya terus meningkat.  Dan hampir 40 persen kebutuhan akan buah Melon di keempat kota besar itu berasal dari kebun-kebun kami, sisanya dari kebun banyak orang. 
Di tahun 1985 , sayapun mulai menanam Buah Semangka Tanpa Biji , bermula dari daerah Banyuwangi dan Muntilan.  Kebutuhan akan buah Semangka Tanpa Bji di tahun 1985 saja, untuk ke empat kota tersebut sudah memerlukan 100 ton perharinya, dan pada waktu itu saya ‘bermain’ hanya 20 sampai 25 ton saja per harinya saat itu, bekerjasama dengan  petani setempat hampir mencapai luasan lahan 100 hektaran.

MENJADI PENGUMPUL BUAH MELON DAN SEMANGKA
Tahun 1995 , saya putuskan menjadi pengumpul dan penyalur buah Melon serta Semangka Tanpa Biji di tiga kota saja ( Jakarta dan Bandung dan Bali ),  dengan membeli beberapa Kios Grosir di Pasar Induk Jakarta , di Pasar Induk Caringin Bandung, serta mulai membuka Toko Moena Fresh pertama di Bali tahun 1990.  Kami mulai mengibarkan bendera supplier dan Toko Buah, sejak tahun 1990. 
Supplier buah-buahan menggunakan bendera “PT Moena Putra Nusantara” , sedangkan Toko Buah di Bali dengan menggunakan bendera "UD Moena Fresh"  Saat itu saja tahun 1990 an, karyawan di tiga kota ( Jakarta - Bandung dan Denpasar ) sudah mencapai kira kira 100 orang, dengan jumlah armada pengantar buah-buahan kesemua pelanggan berkisar 25 kendaraan , dari mulai pick up sampai truck.  Selain itupun kami melayani export ke beberapa negara tetangga. 
Pasang-surutpun disini banyak terjadi, tak ubahnya ibarat sebuah kapal induk yang sudah tua dan perlu banyak perombakan disana sini.  Apalagi setelah beberapa hypermart asing mulai merambah usaha buah-buahan di tiga kota tersebut, semua supplier buah, sayur benar-benar ‘disiksa’ oleh persaingan usaha yang terjadi.

TOKO BUAH SEBAGAI UJUNG TOMBAK 
Selepas kris-mon ( tahun 1997 ), strategi perdagangan buah saya rubah total , dimana 30 persen modal yang masih ada diperuntukkan mempertahankan keberadaan PT Moena Putra Nusantara di Jakarta saja sebagai pemasok / penyalur buah-buahan kepara pelanggan yang memang sudah ada selama ini.  Cabang Bandung kami tutup, dan kami pindahan sebagian ke Bali serta ke Jakarta , dimana 70 persen dari modal yang tersisa saat itu saya jadikan / dirikan 5-6 Toko Buah Moena Fresh di Bali pada tahun 1998.  Proses pembukaannyapun secara bertahap, ditempat-tempat yang strategis di Denpasar, Kuta , Sanur , Ubud.  Ternyata keputusan saya ditahun 1998 tersebut, merupakan suatu keputusan yang saya pikir sangat tepat sekali.   Andai saja saya bertahan sebagai penyalur buah-buahan kesemua swalayan, hypermart dan toko-toko buah se Jakarta, Bandung dan Bali, maka keadaannya tidaklah sebaik seperti sekarang ini. 
Sampai saat ini ( tahun 2010 ), “UD Moena Fresh“ Bali sudah memiliki 12 gerai di tempat-tempat strategis di Bali, dengan jumlah staf dan karyawan di Bali saja sudah mencapai 250 orang, dengan putaran omset berkisar 3 - 4 milyar rupiah per bulannya.  Serta saya mentargetkan, cukup membuka minimal 2 toko saja dalam setahunnya, tidak perlu terlalu 'bernafsu'.
Sedangkan ”PT Moena Putra Nusantara Jakarta” bertahan menjadi pemasok swalayan dan hypermart dengan memiliki 30 orang karyawan, dan putaran omset berkisar 500 sampai 750 juta rupiah per bulannya.

MENUJU KEMANDIRIAN FINANSIAL
Toko Buah “Moena Fresh”, adalah Toko Buah Keluarga,  mencari terobosan baru dengan terus membuka toko buah yang menyebar di pulau Bali.  Kunci dari membuka toko buah adalah :
1.       Lokasi, lokasi dan lokasi
2.       Meminimkan biaya investasi ( dengan memakai ‘peralatan bekas’ ).
3.      Melobby calon-calon pemasok buah yang berkualitas.
4.      Kembangkan Kreatifitas , ada istilah : INOVASI atau MATI, jalankan ..
5.      Optimalkan tempat usaha dengan berbagai inovasi ( memperbanyak varian : buah segar, buah potong, juice, asinan, camilan, dll )
6.      Berikan pelayan prima terhadap pelanggan.

Ada yang khusus didalam Toko Buah Moena Fresh ini, yaitu adanya counter Moena Balinese Snack.  Moena Balinese Snack diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pelanggan dalam menjamu tamu , keluarga yang sedang berlibur , atau rekanan bisnis yang sedang seminar atau rapat kerja di Bali, karena produk panganan khas bali ini disediakan secara lengkap dengan  berbagai merek yang sudah terkenal dan dilengkapi dengan layanan ekspedisi yang cepat dan langsung terima di tempat. 

KEMITRAAN SEBAGAI LANGKAH PENGEMBANG
Penyortiran ( sortasi ) dilakukan guna mendapatkan kualitas prima, walaupun konsekuensinya harus membeli dengan harga yang lebih mahal.  Sehingga disini upaya pembinaan dan kemitraaan produksi perlu dilakukan.

Seperti kita ketahui, didalam suatu usaha, haruslah selalu diingat dimana empat Komponen haruslah TERPUASKAN, yaitu :
1.       Perusahaan puas, dalam arti terus berkembang.
2.       Karyawan puas, dalam arti sejahtera.
3.      Owners puas, dalam arti sesuai bagiannya.
4.      Lingkungan puas, dengan cara kita semua harus perduli kepada lingkungan dimana tempat kita bekerja.  Minimal bersosialisasilah dengan lingkungan, bergotong royong, membantu sepantasnya perusahaan kita dapat membantu.
Walau saat ini hanya sebatas ikut bersama-sama bekerja bakti membersihkan lingkungan dan membantu memberi tong-tong sampah. Program “ Bali ku Bersih ” menjawab kepedulian “ UD Moena Fresh” terhadap lingkungan kerjanya.

PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS SDM
Dimana secara terus menerus, kita semua menggali, belajar, ikut traning yang memang terkait dengan pekerjaannya masing-masing.   Hal ini tidak terbatas dari para karyawan saja , tetapi staf , direksi bahkan pemilik sekalipun masih terus mengikuti training-training yang memang dianggap perlu untuk menciptakan Moena GOOD menjadi Moena GREAT.

PEDULI BUAH LOKAL INDONESIA
Mempromosikan dan menjual buah lokal Indonesia, adalah salah satu bentuk kepedulian Moena Fresh agar buah lokal Indonesia menjadi primadona di negara nya sendiri.  Saat ini Moena Fresh bekerja sama dengan para mitra pemasok berupaya membudayakan mengkonsumsi buah lokal Indonesia diantaranya :
1.       Salak Bali
2.       Salak Gula Pasir
3.      Jambu Klutuk Merah
4.      Manggis
5.      Bekul ( buah asli Bali ) 
6.      Jeruk Bali ( besar )
7.      Ceruring ( seperti Dukuh )
8.      Klampit 

TARGET
Target 2010 : kami harus memiliki 12 toko buah di Bali ( telah terealisir ). 
Target 2015 : kami harus memiliki 20 toko buah di Bali
Target 2015 : kami harus memiliki toko buah di Australia ( Insya Allah. Mohon doanya )

MOTTO KAMI
Senyum , Salam , Sapa , Sopan Santun, Sedekah dan Shalat


Selasa, 19 Oktober 2010

Masa Depan Pertanian di Era Perubahan Iklim

ANALISIS EKONOMI
Kompas Senin, 18 Oktober 2010 | 03:04 WIB
BUSTANUL ARIFIN

Setelah Indonesia mengalami musim kemarau basah seperti saat ini, masyarakat umum semakin yakin bahwa perubahan iklim adalah fakta, bukan mitos.
Prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan beberapa lembaga lain, seperti International Research Institute for Climate and Society (IRI), Columbia University (Amerika Serikat), menunjukkan, peluang terjadinya iklim basah (La Nina) masih sangat tinggi, sampai Februari-Maret-April 2011 (82 persen), bahkan sampai Maret-April-Mei 2011 (62 persen).

Masih segar dalam ingatan masyarakat, tahun 2009, Indonesia mengalami iklim kering (El Nino) walau tidak seekstrem seperti tahun 1997, 2002, dan 2007.
Pertemuan suhu muka laut yang sangat dingin di Samudra Pasifik (Daerah Nino 3.4) dan suhu perairan Indonesia yang hangat diperkirakan akan menimbulkan curah hujan dengan intensitas tinggi di Indonesia, bahkan sampai musim panen raya 2011.
Perubahan iklim yang dimaksud adalah perubahan setiap parameter iklim, seperti perubahan cuaca ekstrem, curah hujan, arah angin, dan sebagainya. Perubahan curah hujan yang sangat anomali seperti saat ini akan mengganggu aktivitas pertanian, terutama padi dan palawija.
Genangan air berlebihan meningkatkan peluang rawan banjir di persawahan menjadi 3 persen dan peluang puso (biji hampa) sampai 14 persen. Sementara, musim kering ekstrem akan meningkatkan peluang kekeringan di persawahan menjadi 8 persen, dan peluang puso sampai 2 persen. Secara keseluruhan, perubahan iklim ekstrem berpeluang menurunkan produksi pangan sampai 10 persen (Irsal Las dan kawan-kawan, 2009) jika negara tidak melakukan apa-apa.
Estimasi di atas belum mempertimbangkan ancaman lain karena perubahan iklim ekstrem juga akan memunculkan wabah hama dan penyakit tanaman.
Pemanasan global karena meningkatnya konsentrasi karbon dioksida di udara adalah salah satu bentuk dari perubahan iklim karena terganggunya aktivitas tanaman dan pepohonan untuk menambat karbon. Dalam konteks makro, sektor pertanian seharusnya mampu menjadi solusi adaptasi, bukan hanya dianggap penyebab perubahan iklim.
Sistem wanatani (agroforestry) memungkinkan penambatan gas karbon di udara karena pola tumpang sari tanaman pangan dan pepohonan atau buah-buahan dapat meredam perubahan iklim, mengurangi laju erosi atau degradasi lahan, sekaligus mampu memberikan tambahan pendapatan petani.
Target produksi pangan
Pada awal Juli 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan angka ramalan (aram 2) produksi beras tahun 2010 menjadi 65,15 juta ton gabah kering giling, naik 1,17 persen, atau cukup jauh dari target peningkatan 3,22 persen yang dicanangkan pemerintah pada periode 2010-2014.
Kinerja pertumbuhan produksi beras tersebut menurun dibandingkan angka 6,75 persen pada 2009, dan 3,74 persen pada 2004, yakni masa pemilihan umum. Menariknya, sejak Agustus 2010 para pejabat sibuk memberikan alasan tentang pelambatan laju peningkatan produksi dan gangguan suplai beras, yang telah berkontribusi pada peningkatan harga pangan selama Ramadhan.
Alasan fenomena perubahan iklim ekstrem seakan memperoleh pembenaran politis bahwa musim (baca: Tuhan) tidak sedang bersahabat dengan pertanian Indonesia. Saat ini, BPS menghitung ulang angka ramalan produksi beras dan pangan lain yang akan diumumkan awal November 2010.
Sesuatu yang harus diperbaiki pada metode estimasi produksi beras adalah faktor indeks pertanaman (IP) yang perlu lebih realistis, tidak hanya berdasarkan pada aspek curah hujan dan penggunaan faktor produksi atau aspek budidaya, tetapi pada peluang terjadinya penurunan produksi atau gagal panen karena beberapa faktor baru yang belum dipertimbangkan sebelumnya.
Taruhlah pengukuran produktivitas padi yang diperoleh dari sampel ubinan (2,5 meter x 2,5 meter) oleh petugas statistik di lapangan mendekati akurat. Akurasi estimasi angka produksi pangan akan lebih banyak ditentukan oleh variabel luas panen, yang sangat bergantung pada faktor IP di atas, dan ketajaman mata petugas pertanian di lapangan memperkirakan luas tanam sawah petani. Idealnya, semua petugas pertanian di lapangan menguasai dan melengkapi dirinya dengan alat ukur sederhana seperti GPS (global positioning system) sehingga sekaligus mampu memantau alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi kegunaan lain.
Pada era perubahan iklim ini, masa depan pertanian Indonesia tidak dapat mengandalkan perencanaan dan implementasi kebijakan sebagaimana biasa. Pembangunan pertanian ke depan memerlukan ketepatan kombinasi aplikasi sains dan inovasi teknologi yang berbasis presisi dan obyektivitas dengan kearifan lokal berdasar prinsip adaptabilitas, kemanfaatan, dan kemaslahatan.
Di tingkat kebun percobaan, para peneliti telah banyak menghasilkan inovasi varietas baru berbasis bioteknologi konvensional dan modern adaptif perubahan iklim.
Di tingkat kebijakan, kejelasan posisi Indonesia untuk lebih promotif terhadap penggunaan bioteknologi, terutama yang dihasilkan di dalam negeri, amat sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan sebagainya. Muara dari perubahan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat Indonesia.
Di tingkat lebih aplikatif, pemerintah telah mengembangkan kegiatan yang mengarah pada adaptasi perubahan iklim, seperti Sekolah Lapang Pengelola Pertanian Terpadu, Sekolah Lapang Perubahan Iklim, Sistem Tanam Benih Langsung, dan sebagainya. Namun, daya jangkau program tersebut terbatas, belum menyentuh seluruh 17,8 juta rumah tangga petani pangan di Indonesia.
Sistem penyuluhan cara lama seperti latihan dan kunjungan perlu disempurnakan dan dikombinasikan dengan teknik pendampingan dan pemberdayaan petani dengan peta jalan yang lebih sistematis.
Kini momentum yang tepat untuk memperbaiki kerja sama pemerintah (pusat dan daerah) dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian di seluruh Indonesia, yang merupakan sumber informasi sains dan teknologi. Hubungan yang cenderung transaksional perlu diubah menjadi hubungan fungsional, untuk membantu petani, dan mempersiapkan kapasitas petani dan pelaku lain menghadapi era perubahan iklim. Dengan menjadi mitra, petani merasa terbantu, bukan sekadar obyek kajian dan pembinaan.

Bustanul Arifin Guru Besar Unila, Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB

Minggu, 05 September 2010

Pertanian, Sektor Besar yang Terlupakan

















Oleh Bustanul Arifin

Pada pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 Agustus lalu, ada bidang yang terlupakan. Itulah pertanian. Jangankan disinggung, pada pidato tersebut, kata pertanian sama sekali tidak disebutkan.
Presiden SBY memang menyebut kata "ketahanan pangan dua kali. Pertama, pada saat mengklaim bahwa "bangsa Indonesia memiliki ketahanan pangan yang semakin kuaf walau sama sekali tanpa dukungan data dan fakta. Kedua, pada saat menyebutkan sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 atau prioritas nasional, berupa reformasi birokrasi dan tata kelola, pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, dan ketahanan pangan.
Banyak analisis menafsirkan mengapa pertanian terlupakan pada suatu momen besar kenegaraan yang ditunggu rakyat banyak serta disaksikan jutaan pemirsa televisi di seluruh Tanah Air.
Pertama, secara substansial pertanian memang dianggap tidak relevan dalam pidato yang mengusung tiga tema besar yang amat-sangat luas dan strategis. Ketiga tema tersebut adalah (1) kesejahteraan, melalui pembangunan untuk semua; (2) demokrasi, melalui peningkatan kualitas demokrasi, pemerintahan dan pelayanan publik; dan (3) keadilan, melalui langkah strategis keadilan untuk semua.
Bagi stakeholders atau pemangku kepentingan bidang pertanian, menganggap bidang ini tidak relevan pada pembangunan kesejehteraan bangsa, adalah sesuatu yang tentu sangat menyakitkan.
Pertanian adalah sektor besar yang selama ini memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja 43% dan kontribusi 16% terhadap produk domestik bruto (PDB), dengan potensi pengganda {multiplier) pada sektor lain yang luar biasa.
Tidak harus mengutip teori-teori ekonomi pembangunan, masyarakat awam pasti sepakat bahwa negara agraris sebesar Indonesia tidak akan maju dan beranjak ke mana-mana jika kebijakan yang dirumuskan justru mengabaikan pembangunan pertanian. Walaupun sektor pertanian telah dibangun dengan susah payah, ternyata hasilnya masih belum membawa kesejahteraan bagi petani sebagai pelaku utamanya.
Apalagi jika diabaikan dan dilupakan. Terlalu besar risiko yang akan ditanggung bangsa Indonesia, jika konsep development for all yang diusung Kabinet Indonesia Bersatu Jilid-2 justru melupakan pertanian. Siapa pun perumus konsep pembangunan yang konon inklusif tersebut, ia atau mereka masih perlu banyak turun ke lapangan agar strategi yang ditawarkan kepada Presiden SBY lebih mendekati kenyataan.
Serempak dan Terintegrasi
Kedua, ketidakpercayaan terhadap sektor pertanian karena kompleksitas yang tinggi. Berbeda dengan sektor industri manufaktur dan jasa, sektor pertanian memang kompleks, karena demikian banyak pelaku yang terlibat, dengan efisiensi yang tidak terlalu tinggi.
Dalam bahasa ekonomi modern, pembinaan dan pemberdayaan sektor pertanian memerlukan biaya transaksi yang besar karena nyaris pada setiap tahapan kegiatan harus dilakukan pelaku atau lembaga yang berbeda. Para perumus kebijakan atau elite politik yang tidak sabar dan ingin melihat hasil instan biasanya melupakan pembinaan pertanian karena hasil kebijakan baru dinikmati sekian tahun kemudian.
Walaupun mereka paham secara teori, bahwa sektor pertanian menjadi pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja, implementasi kebijakan untuk mewujudkan sasaran tersebut memang tidak mudah.
Namun, para pengambil kebijakan tentu tetap harus menyadari bahwa membangun pertanian itu memang perlu serentak dan komprehensif, tidak cukup hanya dengan sekali pukul satu kebijakan, sekian tujuan akan tercapai. Justru hal sebaliknyayang amat diperlukan. Sekian macam instrumen kebijakan harus dilaksanakan secara serempak dan terintegrasi, untuk mencapai satu tujuan, misalnya peningkatan kesejahteraan petani.
Implementasi kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas mungkin cukup jelas dan mudah diukur dengan sekian macam intervensi yang harus dilakukan. Akan tetapi, tanpa diikuti stabilisasi harga di tingkat petani yang memadai, upaya peningkatan produksi tersebut belum tentu dapat memperbaiki kesejahteraan petani, jika para tengkulak lebih berkuasa atau jika tiba-tiba harga pertanian global anjlok.
Belum lagi jika ditambah dengan fakta terakhir tentang penguasaan lahan petani yang semakin menyusut Jumlah petani pangan yang hanya menguasai lahan 0,5 hektare atau kurang telah bertambah mencapai 9,34 juta rumah tangga petani (atau 53,5% dari total). Peningkatan produksi yang besar sekalipun masih sulit untuk mengangkat petani dari belenggu kemiskinan apabila persoalan penguasaan lahan tidak dapat dipecahkan.
Kompleksitas seperti ini akan selalu menjadi momok menakutkan bagi kaum elite picik yang hanyaberpikir ingin menikmati hasil kebijakan instan. Pada tingkat daerah, fenomena seperti ini justru lebih mudah dijumpai. Hampir seluruh daerah dan provinsi meletakkan sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan pada RPJM daerah, namun di lapangan, alokasi anggaran, dan realisasinya berbicara lain.
Revitalisasi Pertanian
Ketiga, pertanian dianggap telah maju dan berhasil karena laporan yang menggiurkan. Laporan-laporan peningkatan produksi pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, dan perikanan akhir-akhir ini mungkin cukup memukau Presiden SBY. Apalagi, pada awal masa kepemimpinannya, Presiden SBY pernah mencanangkan strategi revitalisasi pertanian sebagai mantra ajaib peningkatan produksi dan pemihakan kebijakan kepada petani dan pertanian.
Banyak, pihak seakan terpukau dengan data fisik produksi secara makro tersebut, tanpa pernah berusaha memahami kesulitan riil petani di tingkat mikro. Ketika akhir-akhir ini terdapat lonjakan harga pangan yang liar, baik karena tren permintaan yang memang tinggi dan suplai yang cenderung menurun terutama karena prakiraan bulan basah La Ninayang masih sampai November 2010, pemerintah kemudian bereaksi secara panik. Operasi pasar murah direncanakan secara serempak di beberapa tempat, walaupun menurut laporan media, pasar murah itu sepi peminat.
Dengan kata lain, strategi revitalisasi pertanian yang dicanangkan pada periode pertama dulu masih jauh dari sempurna, sehingga tidak selayaknya sektor pertanian diabaikan. Dari sesuatu yang paling sederhana, seperti sistem produksi pangan yang disebutkan di atas, jelas fondasi pertanian Indonesia masih belum stabil, dikendalikan di sini, ternyata kedodoran di sana, dan sebagainya.
Belum lagi, jika menyebutkan istilah ketahanan pangan yang jauh lebih kompleks dan berdimensi luas, karena bukan hanya menyangkut urusan permintaan dan penawaran pangan, melainkan menyangkut kecukupan gizi dan protein penduduk Indonesia, daya saing bangsa di tingkat global dan sebagainya.
Demikian pula jika memperhitungkan sesuatu yang lebih rumit, seperti reforma agraria yang dicanangkan Presiden SBY pada periode pertama, pembangunan pertanian memang belum dapat dikatakan maju dan berhasil, juga belum mampu mewujudkan konsep justice for all sebagaimana diucapkan dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2010 ter-sebut.
Meski menghadapi berbagai kerumitan, sektor pertanian tetap tak bisa diabaikan, apalagi dilupakan. Pertanian tetap menjadi pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja. Semoga saja, kekhilafan tidak menyebutkan sektor pertanian itu hanya masalah kemasan saja, bukan karena ketidakpedulian atau penga-cuhan yang pasti memiliki implikasi politik jauh lebih buruk.
Masih cukup banyak cara dan langkah kebijakan untuk memulihkan kepercayaan publik bahwa pemerintah betul-betul masih akan berpihak pada sektor pertanian. Salah satu contoh kecil yang dapat dilakukan ke depan dalam mencapai sasaran revitalisasi pertanian adalah bagaimana realisasi rencana mewujudkan 15 juta lahan pertanian pangan.
Apalagi kini Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Terlalu naif jika masih ada yang beralasan tidak mampu menegakkan dan melaksanakan UU 41/2009 tersebut hanya karena peraturan pemerintah (PP) yang lebih operasional belum ada.

Penulis adalah Guru Besar UNILA dan Professorial Fellow MB-IPB