Laman

Selasa, 19 Oktober 2010

Masa Depan Pertanian di Era Perubahan Iklim

ANALISIS EKONOMI
Kompas Senin, 18 Oktober 2010 | 03:04 WIB
BUSTANUL ARIFIN

Setelah Indonesia mengalami musim kemarau basah seperti saat ini, masyarakat umum semakin yakin bahwa perubahan iklim adalah fakta, bukan mitos.
Prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan beberapa lembaga lain, seperti International Research Institute for Climate and Society (IRI), Columbia University (Amerika Serikat), menunjukkan, peluang terjadinya iklim basah (La Nina) masih sangat tinggi, sampai Februari-Maret-April 2011 (82 persen), bahkan sampai Maret-April-Mei 2011 (62 persen).

Masih segar dalam ingatan masyarakat, tahun 2009, Indonesia mengalami iklim kering (El Nino) walau tidak seekstrem seperti tahun 1997, 2002, dan 2007.
Pertemuan suhu muka laut yang sangat dingin di Samudra Pasifik (Daerah Nino 3.4) dan suhu perairan Indonesia yang hangat diperkirakan akan menimbulkan curah hujan dengan intensitas tinggi di Indonesia, bahkan sampai musim panen raya 2011.
Perubahan iklim yang dimaksud adalah perubahan setiap parameter iklim, seperti perubahan cuaca ekstrem, curah hujan, arah angin, dan sebagainya. Perubahan curah hujan yang sangat anomali seperti saat ini akan mengganggu aktivitas pertanian, terutama padi dan palawija.
Genangan air berlebihan meningkatkan peluang rawan banjir di persawahan menjadi 3 persen dan peluang puso (biji hampa) sampai 14 persen. Sementara, musim kering ekstrem akan meningkatkan peluang kekeringan di persawahan menjadi 8 persen, dan peluang puso sampai 2 persen. Secara keseluruhan, perubahan iklim ekstrem berpeluang menurunkan produksi pangan sampai 10 persen (Irsal Las dan kawan-kawan, 2009) jika negara tidak melakukan apa-apa.
Estimasi di atas belum mempertimbangkan ancaman lain karena perubahan iklim ekstrem juga akan memunculkan wabah hama dan penyakit tanaman.
Pemanasan global karena meningkatnya konsentrasi karbon dioksida di udara adalah salah satu bentuk dari perubahan iklim karena terganggunya aktivitas tanaman dan pepohonan untuk menambat karbon. Dalam konteks makro, sektor pertanian seharusnya mampu menjadi solusi adaptasi, bukan hanya dianggap penyebab perubahan iklim.
Sistem wanatani (agroforestry) memungkinkan penambatan gas karbon di udara karena pola tumpang sari tanaman pangan dan pepohonan atau buah-buahan dapat meredam perubahan iklim, mengurangi laju erosi atau degradasi lahan, sekaligus mampu memberikan tambahan pendapatan petani.
Target produksi pangan
Pada awal Juli 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan angka ramalan (aram 2) produksi beras tahun 2010 menjadi 65,15 juta ton gabah kering giling, naik 1,17 persen, atau cukup jauh dari target peningkatan 3,22 persen yang dicanangkan pemerintah pada periode 2010-2014.
Kinerja pertumbuhan produksi beras tersebut menurun dibandingkan angka 6,75 persen pada 2009, dan 3,74 persen pada 2004, yakni masa pemilihan umum. Menariknya, sejak Agustus 2010 para pejabat sibuk memberikan alasan tentang pelambatan laju peningkatan produksi dan gangguan suplai beras, yang telah berkontribusi pada peningkatan harga pangan selama Ramadhan.
Alasan fenomena perubahan iklim ekstrem seakan memperoleh pembenaran politis bahwa musim (baca: Tuhan) tidak sedang bersahabat dengan pertanian Indonesia. Saat ini, BPS menghitung ulang angka ramalan produksi beras dan pangan lain yang akan diumumkan awal November 2010.
Sesuatu yang harus diperbaiki pada metode estimasi produksi beras adalah faktor indeks pertanaman (IP) yang perlu lebih realistis, tidak hanya berdasarkan pada aspek curah hujan dan penggunaan faktor produksi atau aspek budidaya, tetapi pada peluang terjadinya penurunan produksi atau gagal panen karena beberapa faktor baru yang belum dipertimbangkan sebelumnya.
Taruhlah pengukuran produktivitas padi yang diperoleh dari sampel ubinan (2,5 meter x 2,5 meter) oleh petugas statistik di lapangan mendekati akurat. Akurasi estimasi angka produksi pangan akan lebih banyak ditentukan oleh variabel luas panen, yang sangat bergantung pada faktor IP di atas, dan ketajaman mata petugas pertanian di lapangan memperkirakan luas tanam sawah petani. Idealnya, semua petugas pertanian di lapangan menguasai dan melengkapi dirinya dengan alat ukur sederhana seperti GPS (global positioning system) sehingga sekaligus mampu memantau alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi kegunaan lain.
Pada era perubahan iklim ini, masa depan pertanian Indonesia tidak dapat mengandalkan perencanaan dan implementasi kebijakan sebagaimana biasa. Pembangunan pertanian ke depan memerlukan ketepatan kombinasi aplikasi sains dan inovasi teknologi yang berbasis presisi dan obyektivitas dengan kearifan lokal berdasar prinsip adaptabilitas, kemanfaatan, dan kemaslahatan.
Di tingkat kebun percobaan, para peneliti telah banyak menghasilkan inovasi varietas baru berbasis bioteknologi konvensional dan modern adaptif perubahan iklim.
Di tingkat kebijakan, kejelasan posisi Indonesia untuk lebih promotif terhadap penggunaan bioteknologi, terutama yang dihasilkan di dalam negeri, amat sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan sebagainya. Muara dari perubahan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat Indonesia.
Di tingkat lebih aplikatif, pemerintah telah mengembangkan kegiatan yang mengarah pada adaptasi perubahan iklim, seperti Sekolah Lapang Pengelola Pertanian Terpadu, Sekolah Lapang Perubahan Iklim, Sistem Tanam Benih Langsung, dan sebagainya. Namun, daya jangkau program tersebut terbatas, belum menyentuh seluruh 17,8 juta rumah tangga petani pangan di Indonesia.
Sistem penyuluhan cara lama seperti latihan dan kunjungan perlu disempurnakan dan dikombinasikan dengan teknik pendampingan dan pemberdayaan petani dengan peta jalan yang lebih sistematis.
Kini momentum yang tepat untuk memperbaiki kerja sama pemerintah (pusat dan daerah) dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian di seluruh Indonesia, yang merupakan sumber informasi sains dan teknologi. Hubungan yang cenderung transaksional perlu diubah menjadi hubungan fungsional, untuk membantu petani, dan mempersiapkan kapasitas petani dan pelaku lain menghadapi era perubahan iklim. Dengan menjadi mitra, petani merasa terbantu, bukan sekadar obyek kajian dan pembinaan.

Bustanul Arifin Guru Besar Unila, Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB