Laman

Minggu, 05 September 2010

Pertanian, Sektor Besar yang Terlupakan

















Oleh Bustanul Arifin

Pada pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 Agustus lalu, ada bidang yang terlupakan. Itulah pertanian. Jangankan disinggung, pada pidato tersebut, kata pertanian sama sekali tidak disebutkan.
Presiden SBY memang menyebut kata "ketahanan pangan dua kali. Pertama, pada saat mengklaim bahwa "bangsa Indonesia memiliki ketahanan pangan yang semakin kuaf walau sama sekali tanpa dukungan data dan fakta. Kedua, pada saat menyebutkan sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 atau prioritas nasional, berupa reformasi birokrasi dan tata kelola, pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, dan ketahanan pangan.
Banyak analisis menafsirkan mengapa pertanian terlupakan pada suatu momen besar kenegaraan yang ditunggu rakyat banyak serta disaksikan jutaan pemirsa televisi di seluruh Tanah Air.
Pertama, secara substansial pertanian memang dianggap tidak relevan dalam pidato yang mengusung tiga tema besar yang amat-sangat luas dan strategis. Ketiga tema tersebut adalah (1) kesejahteraan, melalui pembangunan untuk semua; (2) demokrasi, melalui peningkatan kualitas demokrasi, pemerintahan dan pelayanan publik; dan (3) keadilan, melalui langkah strategis keadilan untuk semua.
Bagi stakeholders atau pemangku kepentingan bidang pertanian, menganggap bidang ini tidak relevan pada pembangunan kesejehteraan bangsa, adalah sesuatu yang tentu sangat menyakitkan.
Pertanian adalah sektor besar yang selama ini memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja 43% dan kontribusi 16% terhadap produk domestik bruto (PDB), dengan potensi pengganda {multiplier) pada sektor lain yang luar biasa.
Tidak harus mengutip teori-teori ekonomi pembangunan, masyarakat awam pasti sepakat bahwa negara agraris sebesar Indonesia tidak akan maju dan beranjak ke mana-mana jika kebijakan yang dirumuskan justru mengabaikan pembangunan pertanian. Walaupun sektor pertanian telah dibangun dengan susah payah, ternyata hasilnya masih belum membawa kesejahteraan bagi petani sebagai pelaku utamanya.
Apalagi jika diabaikan dan dilupakan. Terlalu besar risiko yang akan ditanggung bangsa Indonesia, jika konsep development for all yang diusung Kabinet Indonesia Bersatu Jilid-2 justru melupakan pertanian. Siapa pun perumus konsep pembangunan yang konon inklusif tersebut, ia atau mereka masih perlu banyak turun ke lapangan agar strategi yang ditawarkan kepada Presiden SBY lebih mendekati kenyataan.
Serempak dan Terintegrasi
Kedua, ketidakpercayaan terhadap sektor pertanian karena kompleksitas yang tinggi. Berbeda dengan sektor industri manufaktur dan jasa, sektor pertanian memang kompleks, karena demikian banyak pelaku yang terlibat, dengan efisiensi yang tidak terlalu tinggi.
Dalam bahasa ekonomi modern, pembinaan dan pemberdayaan sektor pertanian memerlukan biaya transaksi yang besar karena nyaris pada setiap tahapan kegiatan harus dilakukan pelaku atau lembaga yang berbeda. Para perumus kebijakan atau elite politik yang tidak sabar dan ingin melihat hasil instan biasanya melupakan pembinaan pertanian karena hasil kebijakan baru dinikmati sekian tahun kemudian.
Walaupun mereka paham secara teori, bahwa sektor pertanian menjadi pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja, implementasi kebijakan untuk mewujudkan sasaran tersebut memang tidak mudah.
Namun, para pengambil kebijakan tentu tetap harus menyadari bahwa membangun pertanian itu memang perlu serentak dan komprehensif, tidak cukup hanya dengan sekali pukul satu kebijakan, sekian tujuan akan tercapai. Justru hal sebaliknyayang amat diperlukan. Sekian macam instrumen kebijakan harus dilaksanakan secara serempak dan terintegrasi, untuk mencapai satu tujuan, misalnya peningkatan kesejahteraan petani.
Implementasi kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas mungkin cukup jelas dan mudah diukur dengan sekian macam intervensi yang harus dilakukan. Akan tetapi, tanpa diikuti stabilisasi harga di tingkat petani yang memadai, upaya peningkatan produksi tersebut belum tentu dapat memperbaiki kesejahteraan petani, jika para tengkulak lebih berkuasa atau jika tiba-tiba harga pertanian global anjlok.
Belum lagi jika ditambah dengan fakta terakhir tentang penguasaan lahan petani yang semakin menyusut Jumlah petani pangan yang hanya menguasai lahan 0,5 hektare atau kurang telah bertambah mencapai 9,34 juta rumah tangga petani (atau 53,5% dari total). Peningkatan produksi yang besar sekalipun masih sulit untuk mengangkat petani dari belenggu kemiskinan apabila persoalan penguasaan lahan tidak dapat dipecahkan.
Kompleksitas seperti ini akan selalu menjadi momok menakutkan bagi kaum elite picik yang hanyaberpikir ingin menikmati hasil kebijakan instan. Pada tingkat daerah, fenomena seperti ini justru lebih mudah dijumpai. Hampir seluruh daerah dan provinsi meletakkan sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan pada RPJM daerah, namun di lapangan, alokasi anggaran, dan realisasinya berbicara lain.
Revitalisasi Pertanian
Ketiga, pertanian dianggap telah maju dan berhasil karena laporan yang menggiurkan. Laporan-laporan peningkatan produksi pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, dan perikanan akhir-akhir ini mungkin cukup memukau Presiden SBY. Apalagi, pada awal masa kepemimpinannya, Presiden SBY pernah mencanangkan strategi revitalisasi pertanian sebagai mantra ajaib peningkatan produksi dan pemihakan kebijakan kepada petani dan pertanian.
Banyak, pihak seakan terpukau dengan data fisik produksi secara makro tersebut, tanpa pernah berusaha memahami kesulitan riil petani di tingkat mikro. Ketika akhir-akhir ini terdapat lonjakan harga pangan yang liar, baik karena tren permintaan yang memang tinggi dan suplai yang cenderung menurun terutama karena prakiraan bulan basah La Ninayang masih sampai November 2010, pemerintah kemudian bereaksi secara panik. Operasi pasar murah direncanakan secara serempak di beberapa tempat, walaupun menurut laporan media, pasar murah itu sepi peminat.
Dengan kata lain, strategi revitalisasi pertanian yang dicanangkan pada periode pertama dulu masih jauh dari sempurna, sehingga tidak selayaknya sektor pertanian diabaikan. Dari sesuatu yang paling sederhana, seperti sistem produksi pangan yang disebutkan di atas, jelas fondasi pertanian Indonesia masih belum stabil, dikendalikan di sini, ternyata kedodoran di sana, dan sebagainya.
Belum lagi, jika menyebutkan istilah ketahanan pangan yang jauh lebih kompleks dan berdimensi luas, karena bukan hanya menyangkut urusan permintaan dan penawaran pangan, melainkan menyangkut kecukupan gizi dan protein penduduk Indonesia, daya saing bangsa di tingkat global dan sebagainya.
Demikian pula jika memperhitungkan sesuatu yang lebih rumit, seperti reforma agraria yang dicanangkan Presiden SBY pada periode pertama, pembangunan pertanian memang belum dapat dikatakan maju dan berhasil, juga belum mampu mewujudkan konsep justice for all sebagaimana diucapkan dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2010 ter-sebut.
Meski menghadapi berbagai kerumitan, sektor pertanian tetap tak bisa diabaikan, apalagi dilupakan. Pertanian tetap menjadi pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja. Semoga saja, kekhilafan tidak menyebutkan sektor pertanian itu hanya masalah kemasan saja, bukan karena ketidakpedulian atau penga-cuhan yang pasti memiliki implikasi politik jauh lebih buruk.
Masih cukup banyak cara dan langkah kebijakan untuk memulihkan kepercayaan publik bahwa pemerintah betul-betul masih akan berpihak pada sektor pertanian. Salah satu contoh kecil yang dapat dilakukan ke depan dalam mencapai sasaran revitalisasi pertanian adalah bagaimana realisasi rencana mewujudkan 15 juta lahan pertanian pangan.
Apalagi kini Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Terlalu naif jika masih ada yang beralasan tidak mampu menegakkan dan melaksanakan UU 41/2009 tersebut hanya karena peraturan pemerintah (PP) yang lebih operasional belum ada.

Penulis adalah Guru Besar UNILA dan Professorial Fellow MB-IPB