oleh Bustanul Arifin
(dari Metrotvnews, 3 Januari 2010)
Pada 29 Desember 2010, Kementerian Pertanian menyampaikan ”Refleksi Tahun 2010 dan Prospek Pembangunan Pertanian Tahun 2011”. Sebagaimana dapat diduga, perubahan iklim ekstrem masih menjadi tantangan pertanian pada tahun 2011 karena sekian macam dampak buruk yang akan ditimbulkannya. Pemerintah secara gentle mengakui keterlambatannya untuk mengantisipasi perubahan iklim tersebut, walaupun kini telah mulai dikembangkan varietas tanaman pangan (terutama padi, jagung dan kedelai) yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim.
Upaya tersebut memang memakan waktu karena memerlukan proses penelitian dan analisis yang mendalam, sehingga belum akan dapat diaplikasikan pada tahun 2011. Sementara itu, beberapa lembaga nasional dan internasional sebenarnya telah menyampaikan prakiraan iklim, yang intinya meramalkan bahwa bulan basah masih akan berlanjut sampai Mei 2011. Di sinilah diperlukan langkah kebijakan yang lebih efektif meminimalkan dampak perubahan iklim di tingkat usahatani agar dampak yang ditanggung petani dan ekonomi secara keseluruhan tidak terlalu masif.
Di luar tentang fenomena perubahan iklim yang telah menjadi agenda nasional, pada kesempatan tersebut, Pemerintah juga menargetkan perbaikan kinerja sektor pertanian pada tahun 2011 sebesar 3,61 persen per tahun serta hal-hal lain yang umumnya dikenal dengan istilah transformasi struktural perekonomian Indonesia. Target tersebut memang sangat tinggi mengingat kinerja pertumbuhan sektor pertanian sampai triwulan tiga tahun 2010 hanya mencapai 2,6 persen. Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian sekarang ini juga sangat berhubungan dengan rendahnya nilai tambah yang dihasilkan sektor ini, terutama pada pertengahan tahun.
Kinerja pertumbuhan triwulan dua ke triwulan tiga yang mencapai 6 persen belum cukup untuk menggapai kinerja sektoral yang memuaskan bagi sektor yang sebenarnya mampu menyerap tenaga kerja, menciptakan lapangan kerja baru, dan menggandakannya ke sektor-sektor lain yang lebih produktif. Target pertumbuhan 3,61 persen per tahun sebenarnya bukan seuatu yang mustahil untuk dicapai, jika pemeritah mampu mengambil langkah-langkah kebijakan yang memberikan insentif bagi pelaku usaha di sektor pertanian dan sektor lainnya untuk meningkatkan produktivitas dan kinerjanya.
Target lain yang dicanangkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, adalah peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dari 41,4 persen pada tahun 2010 menjadi 44,1 persen pada tahun 2011. Target peningkatan penyerapan tenaga sektor pertanian itu tampak anomali dengan prinsip-prinsip dasar transformasi struktural dari pembangunan ekonomi suatu bangsa. Teori ekonomi pembangunan percaya bahwa pangsa sektor pertanian dalam perekonomian atau pendapatan nasional (produk domestik bruto=PDB) semakin lama semakin menurun. Pangsa PDB sektor pertanian telah menurun dari 30 persen pada dekade 1970-an, menjadi 23 persen pada 1980-an, dan hanya 15-16 persen saat ini. Demikian pula, pangsa atau persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian juga semakin menurun, seiring dengan berkembangnya sektor industri dan jasa. Pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian juga telah menurun dari 62 perse pada 1970-an, menjadi 56 persen pada 1980-an dan 41 persen saat ini.
****
Landasan teori tentang fenomena transformasi struktural itu sudah sangat solid, sehingga terkesan “aneh dan melawan arus” jika pemerintah justru menetapkan target peningkatan tambahan tenaga kerja di sektor pertanian. Di antaranya adalah logika teori konsumsi oleh Ernst Engle bahwa pangsa konsumsi pangan semakin menurun dengan semakin besarnya tingkat pendapatan. Dalam hal ini pertanian adalah sektor utama penghasil bahan pangan pertambahan, sehingga pangsa pertanian dalam PDB pasti semakin menurun seiring terjadinya transformasi struktural pembangunan ekonomi suatu bangsa dari sektor pertanian menuju sektor industri manufaktur dan jasa.
Demikian pula, landasan teori tentang peningkatan produktivitas dalam sektor pertanian seiring semakin majunya suatu bangsa juga berlaku universal, sehingga negara yang tidak mampu melakukan strategi peningkatan produktivitas pasti akan ketinggalan zaman. Landasan teori lain yang sering digunakan untuk menjelaskan fenomena transformasi struktural ini adalah semakin meningkatnya keunggulan komparatif dan kompetitif suatu bangsa, terutama setelah berkiprah dalam perdagangan internasional.
Landasan teori tentang penurunan pangsa penyerapan tenaga kerja seiring dengan pembangunan ekonomi juga sangat solid, karena perekonomian bergerak menuju suatu tingkat produktivtias dan efisiensi yang lebih tinggi. Penurunan pangsa tenaga kerja di sektor pertanian ini dapat dilihat sebagai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull-factor). Faktor pendrong umumnya berkonotasi negatif, karena menunjukkan adanya kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan, sehingga tenaga kerja yang semula bekerja di sektor pertanian akhirnya terpaksa bekerja di sektor industri dan jasa karena di perdesaan tidak mampu memberikan penghidupan yang lebih baik.
Secara tidak langsung, push factor ini juga mencirikan keterbuangan tenaga kerja sektor pertanian dari lingkungannya sendiri, sekaligus menjadi penanda gagalnya transformasi struktural pembangunan ekonomi. Sedangkan faktor penarik (pull-factor) umumnya berkonotasi positif karena sektor non-pertanian lebih atraktif bagi tenaga kerja perdesaan (pertanian) yang memiliki keterampilan tertentu. Mereka yang memiliki tambahan ketrampilan juga menjadi salah satu cermin dari perbaikan pendidikan di pertanian atau bahkan taraf hidup di daerah perdesaan. Di sini terdapat dimensi peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah dalam sektor-sektor perekonomian, sehingga pembangunan ekonomi akan membawa tambahan kesejahteraan baik bagi tenaga kerja sektor pertanian maupun bagi sektor industri dan jasa.
****
Walau pun pemerintah mencoba membuat klarifikasi bahwa target peningkatan penyerapan tenaga kerja 44,1 persen di sektor pertanian tidak hanya dari sisi budidaya, tetapi juga meliputi sektor hilir dan industri pertanian, agak sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah telah memiliki rencana pembangunan ekonomi yang solid. Dalam kosa kata ekonomi pembangunan, rencana besar dan strategi implementasi proses transformasi struktural ekonomi Indonesia tampak tidak terintegrasi (sekadar tidak menyebut “berantakan”) karena kecenderungan masing-masing sektor menjalankan visi dan misi administrasinya sendiri, tanpa suatu kesatuan yang utuh.
Rapat koordinasi bidang perekonomian yang melibatkan menteri-menteri atau anggota Kabinet Indonesia Bersatu Kedua yang memilliki portofolio pembangunan ekonomi mungkin saja rutin dilaksanakan. Contoh kecil tentang pengembangan industri hilir pertanian dengan cara bereksperimen melalui penetapan pungutan ekspor atau bea keluar ternyata belum mampu meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Kebijakan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO), kakao, dan lain-lain masih belum mampu mendorong investasi di hilir atau pendalaman industri (industrial deepening) berdaya saing dan bernilai tambah tinggi ini. Persoalan klasik yang berpangkal pada kondusivitas iklim usaha dan investasi baru kini semakin terlihat nyata di lapangan, yang tentu saja tidak akan mampu dipecahkan sendiri oleh Kementerian Pertanian atau Kementerian Perindustrian saja. Apalagi, jika sinyalemen tentang beberapa pelaku ekonomi domestik justru telah melakukan investasi pengembangan industri hilir pertanian di luar negeri benar adanya, maka proses transformasi struktural ekonomi Indonesia pasti semakin sulit.
Beberapa langkah berikut mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk kembali meluruskan proses transformasi struktural agar sesuai dengan amanat konstitusi “memajukan kesejahteraan umum” yang dapat juga dimulai dari peningkatan kesejahteraan petani. Pertama, fokus pada peningkatan produktivitas dan efisiensi di pertanian, dengan misi besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Misalnya, pada produksi pangan beras, langkah ini dapat dimulai dengan upaya besar pengurangan kehilangan pascapanen, yang kini telah mencapai 22 persen lebih. Seandainya tingkat kehilangan tersebut dapat ditekan sampai 15 persen saja, maka produksi beras di dalam negeri akan bertambah 3,5 juta ton, sehingga Indonesia tidak harus mengalami kontroversi ekonomi-politik impor beras seperti saat ini.
Kedua, masih pada komoditas padi atau beras, pemerintah dapat fokus pada penyediaan sarana pengeringan (dryer) padi, sekaligus untuk antisipasi musim basah yang masih akan berlangsung sampai Mei 2011. Akses terhadap sarana pasca-panen seperti ini juga untuk menjaga agar harga jual gabah petani tidak anjlok pada musim panen raya. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian dapat bekerjasama untuk, misalnya memobilisasi dana perbankan agar dapat diakses oleh petani dan pelaku usaha penggilingan padi, untuk meningkatkan efisinensi penggilingan dan kapasitas pengloahan agar nilai tambah dapat dinikmati petani dan sektor perdesaan pada umumnya.
Ketiga, penyempurnaan landasan kebijakan penanganan pasca-panen yang mengarah pada peningkatan efisiensi. Agak mengejutkan juga jika sampai saat ini Indonesia hanya memiliki aturan perundang-undangan berupa Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1986 tentang Peningkatan Penanganan Pascapanen dan Hasil Pertanian. Apabila landasan kebijakan itu dibuat lebih mengikat para perumus dan pelaksana kebijakan di Iingkat pusat dan tingkat daerah, maka penanganan pascapanen akan lebih efektif, dengan kriteria yang jelas dan terukur.
Keempat, pembangunan pertanian bukan pekerjaan sambilan yang dapat dilakukan oleh satu-dua sektor sambil santai, tetapi merupakan agenda besar negara yang akan dapat menentukan wujud perekonomian Indonesia ke depan. Di sinilah pentingnya komitmen penelitian dan pengembangan (R&D) untuk memajukannya, dari berbagai dimensi dan kepentingan, dengan tujuan besar untuk meningatkan kesejahteraan rakyat.
Upaya tersebut memang memakan waktu karena memerlukan proses penelitian dan analisis yang mendalam, sehingga belum akan dapat diaplikasikan pada tahun 2011. Sementara itu, beberapa lembaga nasional dan internasional sebenarnya telah menyampaikan prakiraan iklim, yang intinya meramalkan bahwa bulan basah masih akan berlanjut sampai Mei 2011. Di sinilah diperlukan langkah kebijakan yang lebih efektif meminimalkan dampak perubahan iklim di tingkat usahatani agar dampak yang ditanggung petani dan ekonomi secara keseluruhan tidak terlalu masif.
Di luar tentang fenomena perubahan iklim yang telah menjadi agenda nasional, pada kesempatan tersebut, Pemerintah juga menargetkan perbaikan kinerja sektor pertanian pada tahun 2011 sebesar 3,61 persen per tahun serta hal-hal lain yang umumnya dikenal dengan istilah transformasi struktural perekonomian Indonesia. Target tersebut memang sangat tinggi mengingat kinerja pertumbuhan sektor pertanian sampai triwulan tiga tahun 2010 hanya mencapai 2,6 persen. Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian sekarang ini juga sangat berhubungan dengan rendahnya nilai tambah yang dihasilkan sektor ini, terutama pada pertengahan tahun.
Kinerja pertumbuhan triwulan dua ke triwulan tiga yang mencapai 6 persen belum cukup untuk menggapai kinerja sektoral yang memuaskan bagi sektor yang sebenarnya mampu menyerap tenaga kerja, menciptakan lapangan kerja baru, dan menggandakannya ke sektor-sektor lain yang lebih produktif. Target pertumbuhan 3,61 persen per tahun sebenarnya bukan seuatu yang mustahil untuk dicapai, jika pemeritah mampu mengambil langkah-langkah kebijakan yang memberikan insentif bagi pelaku usaha di sektor pertanian dan sektor lainnya untuk meningkatkan produktivitas dan kinerjanya.
Target lain yang dicanangkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, adalah peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dari 41,4 persen pada tahun 2010 menjadi 44,1 persen pada tahun 2011. Target peningkatan penyerapan tenaga sektor pertanian itu tampak anomali dengan prinsip-prinsip dasar transformasi struktural dari pembangunan ekonomi suatu bangsa. Teori ekonomi pembangunan percaya bahwa pangsa sektor pertanian dalam perekonomian atau pendapatan nasional (produk domestik bruto=PDB) semakin lama semakin menurun. Pangsa PDB sektor pertanian telah menurun dari 30 persen pada dekade 1970-an, menjadi 23 persen pada 1980-an, dan hanya 15-16 persen saat ini. Demikian pula, pangsa atau persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian juga semakin menurun, seiring dengan berkembangnya sektor industri dan jasa. Pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian juga telah menurun dari 62 perse pada 1970-an, menjadi 56 persen pada 1980-an dan 41 persen saat ini.
****
Landasan teori tentang fenomena transformasi struktural itu sudah sangat solid, sehingga terkesan “aneh dan melawan arus” jika pemerintah justru menetapkan target peningkatan tambahan tenaga kerja di sektor pertanian. Di antaranya adalah logika teori konsumsi oleh Ernst Engle bahwa pangsa konsumsi pangan semakin menurun dengan semakin besarnya tingkat pendapatan. Dalam hal ini pertanian adalah sektor utama penghasil bahan pangan pertambahan, sehingga pangsa pertanian dalam PDB pasti semakin menurun seiring terjadinya transformasi struktural pembangunan ekonomi suatu bangsa dari sektor pertanian menuju sektor industri manufaktur dan jasa.
Demikian pula, landasan teori tentang peningkatan produktivitas dalam sektor pertanian seiring semakin majunya suatu bangsa juga berlaku universal, sehingga negara yang tidak mampu melakukan strategi peningkatan produktivitas pasti akan ketinggalan zaman. Landasan teori lain yang sering digunakan untuk menjelaskan fenomena transformasi struktural ini adalah semakin meningkatnya keunggulan komparatif dan kompetitif suatu bangsa, terutama setelah berkiprah dalam perdagangan internasional.
Landasan teori tentang penurunan pangsa penyerapan tenaga kerja seiring dengan pembangunan ekonomi juga sangat solid, karena perekonomian bergerak menuju suatu tingkat produktivtias dan efisiensi yang lebih tinggi. Penurunan pangsa tenaga kerja di sektor pertanian ini dapat dilihat sebagai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull-factor). Faktor pendrong umumnya berkonotasi negatif, karena menunjukkan adanya kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan, sehingga tenaga kerja yang semula bekerja di sektor pertanian akhirnya terpaksa bekerja di sektor industri dan jasa karena di perdesaan tidak mampu memberikan penghidupan yang lebih baik.
Secara tidak langsung, push factor ini juga mencirikan keterbuangan tenaga kerja sektor pertanian dari lingkungannya sendiri, sekaligus menjadi penanda gagalnya transformasi struktural pembangunan ekonomi. Sedangkan faktor penarik (pull-factor) umumnya berkonotasi positif karena sektor non-pertanian lebih atraktif bagi tenaga kerja perdesaan (pertanian) yang memiliki keterampilan tertentu. Mereka yang memiliki tambahan ketrampilan juga menjadi salah satu cermin dari perbaikan pendidikan di pertanian atau bahkan taraf hidup di daerah perdesaan. Di sini terdapat dimensi peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah dalam sektor-sektor perekonomian, sehingga pembangunan ekonomi akan membawa tambahan kesejahteraan baik bagi tenaga kerja sektor pertanian maupun bagi sektor industri dan jasa.
****
Walau pun pemerintah mencoba membuat klarifikasi bahwa target peningkatan penyerapan tenaga kerja 44,1 persen di sektor pertanian tidak hanya dari sisi budidaya, tetapi juga meliputi sektor hilir dan industri pertanian, agak sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah telah memiliki rencana pembangunan ekonomi yang solid. Dalam kosa kata ekonomi pembangunan, rencana besar dan strategi implementasi proses transformasi struktural ekonomi Indonesia tampak tidak terintegrasi (sekadar tidak menyebut “berantakan”) karena kecenderungan masing-masing sektor menjalankan visi dan misi administrasinya sendiri, tanpa suatu kesatuan yang utuh.
Rapat koordinasi bidang perekonomian yang melibatkan menteri-menteri atau anggota Kabinet Indonesia Bersatu Kedua yang memilliki portofolio pembangunan ekonomi mungkin saja rutin dilaksanakan. Contoh kecil tentang pengembangan industri hilir pertanian dengan cara bereksperimen melalui penetapan pungutan ekspor atau bea keluar ternyata belum mampu meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Kebijakan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO), kakao, dan lain-lain masih belum mampu mendorong investasi di hilir atau pendalaman industri (industrial deepening) berdaya saing dan bernilai tambah tinggi ini. Persoalan klasik yang berpangkal pada kondusivitas iklim usaha dan investasi baru kini semakin terlihat nyata di lapangan, yang tentu saja tidak akan mampu dipecahkan sendiri oleh Kementerian Pertanian atau Kementerian Perindustrian saja. Apalagi, jika sinyalemen tentang beberapa pelaku ekonomi domestik justru telah melakukan investasi pengembangan industri hilir pertanian di luar negeri benar adanya, maka proses transformasi struktural ekonomi Indonesia pasti semakin sulit.
Beberapa langkah berikut mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk kembali meluruskan proses transformasi struktural agar sesuai dengan amanat konstitusi “memajukan kesejahteraan umum” yang dapat juga dimulai dari peningkatan kesejahteraan petani. Pertama, fokus pada peningkatan produktivitas dan efisiensi di pertanian, dengan misi besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Misalnya, pada produksi pangan beras, langkah ini dapat dimulai dengan upaya besar pengurangan kehilangan pascapanen, yang kini telah mencapai 22 persen lebih. Seandainya tingkat kehilangan tersebut dapat ditekan sampai 15 persen saja, maka produksi beras di dalam negeri akan bertambah 3,5 juta ton, sehingga Indonesia tidak harus mengalami kontroversi ekonomi-politik impor beras seperti saat ini.
Kedua, masih pada komoditas padi atau beras, pemerintah dapat fokus pada penyediaan sarana pengeringan (dryer) padi, sekaligus untuk antisipasi musim basah yang masih akan berlangsung sampai Mei 2011. Akses terhadap sarana pasca-panen seperti ini juga untuk menjaga agar harga jual gabah petani tidak anjlok pada musim panen raya. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian dapat bekerjasama untuk, misalnya memobilisasi dana perbankan agar dapat diakses oleh petani dan pelaku usaha penggilingan padi, untuk meningkatkan efisinensi penggilingan dan kapasitas pengloahan agar nilai tambah dapat dinikmati petani dan sektor perdesaan pada umumnya.
Ketiga, penyempurnaan landasan kebijakan penanganan pasca-panen yang mengarah pada peningkatan efisiensi. Agak mengejutkan juga jika sampai saat ini Indonesia hanya memiliki aturan perundang-undangan berupa Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1986 tentang Peningkatan Penanganan Pascapanen dan Hasil Pertanian. Apabila landasan kebijakan itu dibuat lebih mengikat para perumus dan pelaksana kebijakan di Iingkat pusat dan tingkat daerah, maka penanganan pascapanen akan lebih efektif, dengan kriteria yang jelas dan terukur.
Keempat, pembangunan pertanian bukan pekerjaan sambilan yang dapat dilakukan oleh satu-dua sektor sambil santai, tetapi merupakan agenda besar negara yang akan dapat menentukan wujud perekonomian Indonesia ke depan. Di sinilah pentingnya komitmen penelitian dan pengembangan (R&D) untuk memajukannya, dari berbagai dimensi dan kepentingan, dengan tujuan besar untuk meningatkan kesejahteraan rakyat.
Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA, Ekonom Senior INDEF